Pada zaman dahulu, peran yang dominan dalam ranah domestik biasanya dipegang oleh kaum perempuan, namun seiring dengan berkembangnya waktu dan pemikiran manusia, kini muncul fenomena ‘Bapak Rumah Tangga’ baik di Jepang maupun Indonesia. Di Jepang sendiri, setelah Perang Dunia ke-II menganut konsep patriarki yang sangat kuat, dimana tugas-tugas yang diemban seorang manusia dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya atau yang sering disebut dengan sex labor division. Para laki-laki memiliki beberapa superioritas, yaitu penentuan garis keturunan, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi status publik, dan pembagian kerja (Anisa, 2016). Namun perlahan-lahan konsep itu kian melemah seiring dengan perkembangan feminisme dan kesetaraan gender. Hal yang sama juga berlaku di Indonesia. Perempuan yang awalnya hanya mengerjakan pekerjaan domestik, sekarang dapat bekerja di sektor yang sama dengan laki-laki. Dan karena itulah kemudian muncul konsep Bapak Rumah Tangga. Bapak Rumah Tangga atau Stay at Home Dad ini adalah para laki-laki sebagai figur ayah yang tidak bekerja, bekerja paruh waktu, atau menjalankan bisnis sendiri yang memilih untuk menjadi pengasuh utama anak-anaknya, serta menghabiskan waktu bersama anak-anak minimal enam jam sehari (Della dkk., 2018). Hal ini tentu saja menimbulkan pengaruh positif dan negatif, menurut Della dkk., 2018 konsep diri bapak rumah tangga memiliki dampak positif terutama dalam dimensi fisik, moral-etika, dan aspek keluarga, sedangkan dampak negatifnya sering ditemui pada dimensi personal dan sosial dari konsep diri. Karena laki-laki dituntut untuk menjadi maskulin dan perempuan diharuskan menjadi feminin, maka dalam perannya, bapak rumah tangga ini kerap diuji oleh beberapa stigma dari masyarakat.
Dalam esai ini, penulis meneliti mengenai konsep bapak rumah tangga yang ada dalam anime Gokushufudou (極主夫道) yang tayang secara resmi di aplikasi online streaming Netflix. Serial anime ini dirilis pada tahun 2021, dan telah menyita perhatian para penggemar anime karena plot dan karakter yang sangat bertabrakan. Serial ini menceritakan tentang seorang mantan yakuza atau sindikat kriminal di Jepang bernama Tatsu yang banting setir menjadi bapak rumah tangga setelah ia keluar dari geng tersebut. Tentu hal ini adalah dua dimensi yang sangat berbeda, dimana peran dan tugasnya berbanding terbalik saat ia masih menjadi seorang yakuza.
Dalam hal ini, maskulinitas Tatsu diuji oleh stigma-stigma yang ada di masyarakat. Seperti contohnya saat Masa, temannya saat di geng yakuza datang menghampirinya, lalu saat melihat Tatsu berbelanja bahan makanan, Masa mencemooh Tatsu dengan berkata “Kenapa kamu melakukan hal seperti ini?”. Dari dialog ini terlihat bahwa laki-laki tidak lazim untuk menjadi seorang bapak rumah tangga karena Tatsu dianggap terlalu ‘maskulin’ untuk melakukan pekerjaan domestik dalam rumah tangga, seperti membersihkan rumah, memasak, atau mengurus hewan peliharaan. Dalam serial tersebut dijelaskan juga bahwa istri Tatsu adalah seorang desainer handal yang cekatan dan pintar, namun memiliki beberapa kekurangan, diantaranya adalah ia tidak bisa memasak dan membersihkan rumah. Hal ini terlihat saat istri Tatsu ingin memasak, namun Tatsu segera melarangnya dan memasakkan makanan untuknya. Begitu pula saat Tatsu berulang tahun, Masa dan istri Tatsu ingin mendekorasi rumah untuk membuat kejutan, namun hal itu malah sia-sia karena rumahnya malah menjadi berantakan. Tatsu pun mengambil alih pekerjaan dekorasi rumah dan akhirnya semua masalah terselesaikan.
Dalam masyarakat, feminitas dan maskulinitas secara kualitatif berbeda. Salah satu perbedaannya adalah perbedaan respon terhadap penyimpangan dari norma gender. Seperti jika perempuan bekerja setara dengan laki-laki maka akan dianggap biasa saja. Namun jika laki-laki menggantikan posisi sebagai bapak rumah tangga, maka stigma-stigma negatif akan muncul dan dinilai tidak nyaman untuk dilihat. Lalu, perempuan sangat erat kaitannya dengan pekerjaan domestik dalam rumah tangga. Bahkan saat perempuan bekerja pun, biasanya masyarakat di lingkungan sekitarnya akan menyuruh perempuan ini untuk mengerjakan pekerjaan domestik, sehingga beban perempuan menjadi tidak seimbang dengan laki-laki. Maskulinitas secara abstrak lekat dengan kemandirian dan daya saing sehingga sangat sulit membayangkan untuk bebas dari maskulinitas karena dua alasan berikut:
1. 1. Pengakuan identitas pria diperoleh melalui kemandirian dan daya saing.
2. Situasi yang tidak memungkinkan untuk melepaskan diri dari tanggung jawab menyokong ekonomi keluarga.
Dari sini dapat kita lihat bahwa jika perempuan bisa dikatakan tomboy atau memasuki ‘daerah’ maskulinitas atau menyimpang dari feminitas, maka pengakuan gender bahwa mereka perempuan masih cenderung fluktuatif. Namun jika laki-laki yang memasuki ‘daerah’ feminitas atau menyimpang dari norma-norma maskulinitas yang ada, biasanya membawa lebih banyak kecemasan dan cenderung menyalahkan mereka yang dianggap menyimpang dari norma-norma maskulinitas yang ada. Sehingga pria cenderung lebih sensitif jika menyangkut soal sifat maskulinitas mereka. Seorang sosiolog Sunaga Shio juga menunjukkan bahwa laki-laki sulit untuk keluar dari persaingan antar laki-laki (Sunaga, 1999).